Oleh
Ustadz Ahmad Anshori, Lc
Seorang mukmin, saat menemukan kebenaran yang sebelumnya belum pernah ia ketahui, seperti seorang yang menemukan sebuah barang berharga yang hilang, yang ia cari sepanjang siang dan malam. Bagaimana gerangan perasaannya, manakala berhasil menemukan barang tersebut? Tentu senang dan bahagia. Demikian perumpamaan seorang mukmin, manakala ia menemukan kebenaran, yang sebelumnya belum ia ketahui. Sebelumnya ia tidak sadar kalau ternyata selama ini berada pada jalan yang keliru. Lalu ia menemukan kebenaran yang menyadarkannya dari kekeliruan tersebut. Tentu ia akan merasa bahagia dan berlapang dada untuk menerima kebenaran tersebut.
Sebagai seorang mukmin yang telah berikrar bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah utusan Allah, tentu ia akan lebih selektif dalam dalam hal amalan ibadah. Bila ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka akan lakukan sebagai bentuk ittiba‘ (mengikuti sunah) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila tidak maka ia akan tinggalkan karena Allah. Karena diantara konsekuensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, adalah ittaba’, atau mencontoh beliau dalam beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah wahai Muhammad: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imron : 31).
Imam Syafi’i mengatakan,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 2: 282).
Pembaca yang dirahmati Allah, terkait perayaan Isra Mi’raj, ada nasehat indah dari salah seorang ulama di kota Madinah An-Nabawiyyah; Syaikh Sulaiman ar Ruhaili hafizhahullah. Dimana dalam salah satu majelis di masjid Nabawi beliau ditanya terkait masalah ini. Mari simak pemaparan beliau berikut.
Pertanyaan:
Apakah benar peristiwa Isra dan Mi’raj itu terjadi bulan rajab? Lalu bolehkah kita merayakan peristiwa tersebut? Dan menjadikan hari terjadinya sebagai ‘id (perayaan yang dirayakan secara periodik) setiap tahunnya? Dimana pada hari perayaan tersebut, kita saling memberi ucapan selamat dan saling bertukar hadiah?
Jawab:
Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi di bulan Rojab. Benar kita tidak meragukan, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj benar-benar terjadi. Bahkan ini bagian dari perkara agama yang qot’i, tidak boleh seorang muslim meragukannya. Namun kapan peristiwa ini terjadi? Bulan apakah?
Para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak ada keterangan riwayat yang menerangkan bulan terjadinya peristiwa Isra Mi’raj. Tidak pula zamannya. Yakni tidak diketahui peristiwa tersebut terjadi pada bulan apa. Tidak pula di sepulah hari dari suatu pulan apapun. Oleh karenanya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah penentuan bulan terjadinya Isra dan Mi’raj. Karena disebabkan tidak adanya riwayat shahih yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini.
Maka berangkat dari alasan di atas, tidak boleh kita menjadikan hari ke 27 dari bulan Rojab, sebagai hari Isra dan mi’raj. Dan menetapkan bahwa pada hari itulah terjadi peristiwa Isra Mi’raj. Hari dimana saling memberi ucapan selamat, demi memeriahkan perayaan tersebut. Terkadang pula saling bertukar hadiah.
Pertama, karena memang tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa 27 Rojab adalah hari Isra dan Mi’raj.
Kedua, karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam; dimana beliaulah yang diberi Allah nikmat untuk mengalami peristiwa agung ini, dan beliau adalah hambaNya yang paling banyak bersyukur, yang mendirikan shalat sampai pecah-pecahlah telapak kaki beliau; semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk beliau, beliau bersabda:
أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Tidakkah aku menginginkan untuk menjadi hambaNya yang bersyukur?!”
Semoga shalawat dan salam tercurahkan untuk beliau, namun beliau tidak pernah merayakan malam Isra dan mi’raj tersebut. Beliau juga tidak mengkhususkan malam tersebut dengan shalat tertentu atau mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu. Sementara dalam perkara ini (juga seluruh seluk beluk kehidupan) umat ini dituntut untuk meneladani Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Demikian pula tidak ada keterangan dari para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka-, bahwa mereka merayakan peristiwa Isra dan mi’raj. Tidak pula dari generasi tabi’in, tidak pula dari Imam mazhab yang empat; yang dijadikan rujukan -semoga Allah meridhoi para ulama pendahulu kita, seluruhnya-. Tidak ada keterangan dari mereka semua, bahwa mereka merayakan peristiwa ini. Bahkan meski satu patah katapun tentang perayaan ini.
Selanjutnya, wahai hamba Allah, saat Anda mengetahui, bahwa ternyata tidak ada riwayat tentang hari terjadinya peristiwa ini, tidak pula berkaitan dengan perayaannya pada malam maupun siang harinya, ini menunjukkan bahwa para salafus shalih tidak terlalu perhatian dengan waktu terjadinya peristiwa ini. Ini juga menjadi bukti, bahwa mereka tidak pernah merayakan peristiwa Isra dan Mi’raj (yang diklaim terjadi) pada 27 Rojab ini. Karena andai mereka merayakannya, tentu akan ada riwayat yang menjelaskan mengenai waktu kejadian Isra mi’raj. Dan tentu akan ada penjelasan dari mereka perihal perayaan ini.
Kemudian, sesungguhnya kaidah syariat yang kita sepakati bersama, bahwa agama ini dibangun di atas ittiba‘ (mencontoh Nabi shallallahu’alaihi wasallam). Dan bahwa ibadah itu dibangun di atas dalil (tawqif). Oleh karenanya, tidak selayaknya bagi seorang muslim, untuk melakukan suatu ibadah, kecuali bila ia memiliki cahaya petunjuk dan bimbingan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, yang menerangkan kepada mereka tata cara ibadahnya.
Haknya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam atas kita, adalah kita tidak menyembah Allah kecuali dengan petunjuk yang datang dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Dan setiap amalan ibadah yang dikerjakan, yang tidak ada perintahnya dari Nabi yang mulia ini shallallahu alaihi wa sallam, maka ibadah tersebut tidak diterima di sisi Allâh. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita dan membimbing kita melalui sabdanya
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
Dan beliau senantiasa mengulang-ulang nasehatnya dalam setiap khutbah beliau;
إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
Maka alangkah indahnya bila umat ini menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang ada tuntutannya. Karena sungguh andai mereka menyibukkan hari-hari mereka dengan ibadah yang ada sunahnya dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka sungguh dalam hal tersebut ada pengaruh yang besar di hati kaum mukminin; dalam hal kasih sayang diantara mereka, saling mencintai, persatuan, kemuliaan mereka, pertolongan untuk mereka atas musuh-musuh mereka, dan akan tampaklah wibawa umat di hadapan musuh-musuh mereka.
Namun amat disayangkan, banyak dari hamba-hamba Allah, lebih condong kepada amalan-amalan ibadah yang baru, lalu meninggalkan banyak dari amalan yang ada tuntunannya. Dan kekurangan ini kembali pada kekurangan ulama, dan penuntut ilmu, di negeri-negeri mereka, dalam menjelaskan sunah kepada masyarakat, mengajarkan kebaikan kepada mereka, dan mengajak mereka untuk komitmen terhadap sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Wasiatku untuk seluruh kaum muslimin, untuk bersama bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, melakukan amalan ibadah yang disyariatkan oleh Allah ta’ala, dan kita mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ibadah-ibadah yang dituntukan tersebut.”
Demikian yang beliau sampaikan. Rekaman dari tausiyah beliau, bisa anda simak di sini, di menit ke 06.30 sampai selesai.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk istiqomah di atas sunah NabiNya.
Sumber: https://muslim.or.id/25540-perayaan-isra-miraj-siapa-bilang-tidak-boleh.html